Tasawwuf Modern dan Implementasi Mantik



Secara umum, ilmu dibagi menjadi dua, ada Dharuri dan ada Nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran (Aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran. Lebih jelasnya, ilmu Dharuri (sering juga disebut Badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 5+5=10. Sedangkan Nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. Jadi ilmu Nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contohnnya, bumi itu bulat, merupakan hal yang Nadzari. Maka dari itu, dengan adanya ilmu Nadzari, kita semakin diajak untuk sedikitnya mengetahui apa itu Mantiq.
Yang telah kita ketahui bersama, Mantiq tak lain merupakan ilmu atau dasar yang penggunaannya maupun fungsinya akan menjaga kesalahan kita dalam berpikir. Lebih jelasnya lagi, Mantiq merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya (beberapa saja Ilmu yang tercantum dalam Mantiq itu sendiri) kemungkinan akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sewajarnya tidak akan lepas dari berpikir dan tidak selamanya pikiran itu terpetak dengan benar. Saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.



Ilmu Mantiq, bukanlah ilmu yang terdengar asing bagi santri di Pesantren salaf. Kadang, ilmu tersebut memang dijadikan ilmu pokok di Pesantren itu. Menggunakan ilmu Mantiq, ada baiknya terlebih dahulu sedikitya kita tau apa itu berpikir. Yakni adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (Majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang Majhul itu menjadi Ma'lum (diketahui).
Dalam Site-nya Ust. Husein Al-Kaff mengatakan bahwa, argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal, "Socrates adalah manusia; dan setiap manusia bertindak zalim; maka Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "Socrates adalah manusia; dan Socrates adalah seorang ilmuwan", maka " manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya juga tidak benar. (Dalam pembahasan Qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar).
Dalam Mantiq, terdapat dua kata yang memang pembahasannya merupakan terpenting dari yang lain. Karena kedua kata tersebut membahas masalah aspek terpenting dalam pikiran manusia. Yaitu ada Ilmu dan juga ada Idrak yang mana keduanya mempunyai makna yang sama (sinonim).
Oleh karena itu, makna Ilmu dan Idrak sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (Mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut.
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Dan kondisi yang seperti inilah yang disebut dengan "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya menghimpun gambaran dari sesuatu saja (Bangunan misalkan). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga memberikan penilaian atau hukum (Judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "Ya" atau "Tidak/bukan". Misalnya, "Air itu dingin", atau "Air itu tidak dingin"; "Manusia itu berakal", atau "Manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Begitulah ilmu Mantiq, ilmu yang mengajarkan pada kita agar tidak berfikir salah, mengajarkan pada kita agar sedikit banyaknya kita gunakan akal dan logika kita, jadi tidak harus mengarah pada sesuatu yang sudah ada akan ketentuannya.

Comments

Popular posts from this blog

Narasi Nur Ariyanti Ep 3 : Jangan Dibuang

An Inconvenient Truth: 2030 Indonesia Tenggelam

Narasi Nur Ariyanti Ep 1 : Menghidupkan Cahaya