Pesantren Masa Depan
Sebenarnya, membahas masalah Pesantren ibarat membahas sesuatu yang sulit untuk berhenti, bahkan bisa diibaratkan membahas sesuatu yang tidak ada akhiran-nya. Pesantren telah hidup dan berkembang puluhan tahun di Indonesia. Pesantren tidak pernah ‘kering’ walaupun kesejahteraan bangsa Indonesia terus berubah dan berganti. Pesantren tetap hidup sesuai dengan habibat dan komitmennya sebagai lembaga pendidikan islam yang punya karateristik dan kharisma tersendiri.
Terlepas dari berbagai asumsi apapun, mengenai yang terjadi pada Pesantren saat ini, Pesantren tetap eksis sesuai dengan karakternya. Maka, ketika terjadi beberapa kasus yang mendera Pesantren beberapa waktu lalu, tidak menjatuhkan martabat Pesantren sebagai pusat persemaian dan penyebaran nilai-nilai keislaman. Seperti sistem pendidikannya yang terus mendapatkan sorotan tajam, karena masih dianggap kuno dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Juga mengenai pola prilaku kehidupan Pesantren yang dianggap telah menjauh dari unsur-unsur masyarakat madani, atau pada tingkat charisma dan peran Kiai sebagai lokomotif Pesantren itu sendiri.
Sehingga, gagasan demi gagasan terus mengalir. Berbagai metode konstruktif dari masyarakat terus menjadi sajian yang menarik. Hal ini menandakan bahwa kepedulian masyarakat Indonesia kepada lembaga yang namanya pesantren masih tetap hidup tumbuh subur seiring dengan keinginan masyarakat untuk mengubah pola dan manajemen pesantren yang dianggap kuno.
Salah satunya lewat buku yang berjudul “Menggagas Pesantren Masa Depan; Geliat Suara Santri Untuk Indonesia Baru” (Qiratas Yogyakarta). Yang diantara tulisannya menggambarkan sejarah Pesantren yang tidak sekusam saat ini. Justru Pesantren telah ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsa. Dengan semangat tinggi Pesantren telah memberika warna dalam kemajuan bangsa ini melaluli nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan, toleransi, serta gotong-royong yang selalu disematkan pada setiap santrinya
Wacana pemikiran kita sejak dulu telah dipenuhi oleh slogan-slogan yang indah seperti “reformasi” demokrasi dan masyarakat madani. Bersamaan itu pula, mucul slogan-slogan moral dan ahlak, seperti kejujuran, keterbukaan, tranparasi dari perilaku yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Bahkan kemunafikan dan pemerintahan yang uncredible.
Ternyata semua slogan tersebut tertumpu dan menyatu dalam satu pengertian asasi yaitu “civility”, keadaban atau Madania (al-Madaniyah). Lebih jelasnya tertuju pada titik sentral Pondok Pesantren yang secara prinsip menarik kembali sumber yang otentitas dan validitas mengenai pandangan-pandagan social dan politik yang relevan dengan agenda reformasi sekarang ini.
Perkembangan Madani yang dijadikan salah satu pilot project demokrasi pada hakekatnya adalah partisiasi umum (universal participation) sebagaimana halnya dalam masyarakat madani pada zaman Nabi. Oleh karena itu nilai-nilai madani ajaran nabi yang dihayati, diyakini dan diamalkan dengan rasa iman dan kesungguhan akan lebih memajukan proses demokrasi sebagaimana amanat gerakan reformasi total yang kita jalani.
Berkenaan dengan itu, sebagaimana yang pernah dikukuhkan olah para sarjana modern seperti Robert N. Bellah mengatakan bahwa masyarakan madani memerlukan prasarana social budaya yang memadai untuk menompang perwujudannya.
Upaya membentuk dalam mengambangkan suatu masyarakat madani yang kerap kali disinonimkan dengan masyarakat sipil (civil society) yang berpijak di atas landasan struktur masnyarakat pluralistic data ditelusuri dari catatan sejarah pada masa perkembangan awal islam. Mengingat kondisi reatitas di Indonesia merupakan suatu entitas social yang majemuk dan dinamis, perseptektif sejarah islam diharapkan dapat memberikan sumbangan konstruktif dan optimistic bagi perwujutan masyarakan madani itu sendiril.
Dr. Nurcholis Madjid dalam bukunya islam doktrin dan peradaban (1992), memberikan cacatan yang konstruktif sistematis mengenai kemajemukan tersebut. Petama, islam memberikan penegasan bahwsa kemajemukan atau pluralitas dalam kehidpan umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Allah (Al-Hujarat 49:13). Kedua, kemajemukan sebagai suatu sunatullah harus diterima sebagai kenyataan yang positif dan keratif untuk digunakan sebagai pangkal tolak berlomba-loba menuju kebaikan (Al-maidah 5:48). Ketiga, agar dalam kemajemukan dapat dihindari persaingan yang tidak sehat, perlu diusahakan satu titik temu (common platform atau kalimatun sawa’) dari semua kelompok yang ada.
Dari penjelasan mengenai perkembagnan masyarakat madani, perlu adanya rekonstruksi konsep masyarakat madani. Salah satunya adalah perlu adanya sebuah etika pluralisme yang dapat memberikan kerangka orientasi hidup masyarakat ditengah kemajemukan bangsa. Etika pluralisme ini merupakan suatu gagasan yang reflektif yang memuat premis preskriptid beagaimana manusia seharusnya berprilakju dalam masnyarakat yang majemuk. Di Indonesia khusunya, untuk merekonstruksi etiak pluralisme ini tidak harus berawal dari suatu kefakuman, sebab masyarakat Indonesia telah memiliki pranata social yangt didalamnya terkandung premis preskriftif atau rumusan-rumusan keharusan moral ang harus dijalankannya dalam kehidupan mereka. Masalahnya adalah pranata social sekarang sedang mengalami paradoks yang dapat kita lihat dari gejala social seperti terjadi gejala kekerasam kerusuhan social dan lain-lain. Paradoks itu terjadi karena mengalami perilakuan yang keliru. Terutama yang dilakukan oleh rejim Orde Baru terhadap system dan nilai yang ada dalam masyarakat. Disamping itu juga karena kecenderungan dalam merespon isu seputar kemajemukan dari sudurt pandang yang lebih bernuansa politis daripada cultural. Juga sering diperingatkan oleh pengusa tantang adanya ancaman bahaya SARA, terutama yang berkaitan tentang keintegrasian bangsa. Tanpa bersusah payah mencari akar permasalah yang sesungguhnya, walaupun sejarah pembangunan orde baru mempunyai mempunyai catatan keberhasilan (sucdes story), dalam membagun manyarakat ekonomi, tetap gagal dalam membangun manyarakat yang sehat (the same society). (Sumber; Santri Penjelajah Dunia)
Kaitannya dengan Pesantren, penulis memandang saat ini Pondok Pesantren merupakan kelompok social keagamaan yang sangat potensial untuk bersemainya dalam melahirkan suatu kelompok masyarakat yang relegius, jenius, serta pada tingkat kemandirian yang tinggi. Sehingga diharapkan dapat menjadi tulang punggung tercipatanya masyarakat madani. Wallahu a’alam (af).
Dimuat di Radar Madura 13 April 2010
photo1: http://santrigaul.net/wp-content/uploads/2015/08/santri-mambaus-sholihin-saat-membaca-kitab-kuning-darulanshar.wordpress.com_.jpg
salam sobat
ReplyDeletekunjungan dari Saudi Arabia
blognya keren dan menarik postingannya.
Sayangnya, pesantren mulai banyak ditinggalkan oleh mereka yang merasa dirinya modern.
ReplyDeleteUlasannya menarik kang.
Jarang sekali mereka yang muda membahas hal-hal semacam ini. Kebanyakan mereka menganggap dunia santri dan pesantren adalah dunia yang ga keren sama sekali. Salut buat Affandi, salam persahabatan.
ReplyDeletehalo.maaf baru mampir
ReplyDelete@all.. Thanks semua kunjungannya...:)
ReplyDelete