Santri dan Sebuah Dilema


Tidak sedikit permasalahan atau kontraversi yang terjadi dengan pendidikan di Indonesia. Dengan tanpa merasa kesulitan untuk mencari data, memang pendidikan di Indonesia masih dalam situasi yang tak menggembirakan. Banyak pakar dan para peneliti pendidikan yang menyebutkan hal itu semua di media massa, seminar, siaran berita di televisi, atau jika cukup rajin membaca koran, hampir setiap hari ada berita tak sedap tentang keadaan pendidikan di negeri kita. Bisa tentang fasilitas yang jauh dari batasan memadai, gedung sekolah yang tak lebih bagus dari kandang ayam, kurikulum yang setiap saat berubah, kesejahteraan guru yang tak layak, dan sekian banyak persoalan lain yang bertumpuk. Dan diantara permasalah itu adalah problematika ‘ritual’ tahunan yaitu tentang pelaksanaan ujian nasional (Unas).

Sebenarnya permasalahan Unas adalah permasalahan klasik yang tak kunjung menemukan penyelesaian, karena memang harus diakui bahwa Unas bukan masalah gampang.

Membicarakan Unas kita serasa berdiri mengambang diantara harapan dan dilema. Di satu sisi, eksekutif dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang salah satu caranya adalah dengan mengevaluasi out put dari hasil pendidikan. Karena jika kualitas sudah diupayakan untuk meningkat, tapi tidak pernah dievaluasi, akan terjadi kebingungan dari mana pemerintah akan mengetahui kalau kualitas pendidikan sudah lebih baik.

Di sisi lain, Unas masih menjadi permasalahan yang dipenuhi kontraversi. Sejatinya, perdebatan masalah Unas sudah terjadi saat kebijakan tersebut digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 untuk menjadi ganti dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hal ini bermula ketika keberhasilan pendidikan yang diukur dari tingkat kelulusan siswa (yang telah belajar selama tiga tahun dan dengan biaya yang tak bisa dibilang murah) ditentukan dalam waktu sepuluh jam dalam lima hari dan oleh lima pelajaran pula. Sungguh naïf!

Peraturan yang merencanakan akan mencampur baurkan peserta Unas tahun 2010, ironis tidak terlaksana. Hanya saja pengawas yang –memang sejak dulu– masih tetap eksis untuk istilahnya ‘penyilangan’ dalam hal pengawasan, dari sekolah A ke sekolah B, dan begitupun sebaliknya. Lima hari(yang silam) lamanya Unas tingkat SMA/MA 2010 dilaksanakan. Sungguh, tidak hanya kebijakan yang terkait akan kontraversi, tapi hal ini juga mempunyai keterkaitan terhadap pihak(sekolah) satu dengan yang lain, entah apa konflik yang terjadi, penulis tidak begitu paham akan hal ini. Tapi yang pasti, untuk yang kedua kalinya –setelah mengikuti Unas masa SMP–, tahun ini penulis sedikit menemukan sesuatu yang sepertinya tidak lazim dan terlalu pribadi untuk diperbincangkan, yakni seperti apa yang tertera pada judul diatas.
Mungkin, dengan membaca judul diatas para pembaca sekalian sudah paham maksud dari artikel kali ini. Tak lebih dan jujur, penulis ada sedikit rasa terpaksa merampungkan tulisan ini hanya karena menuangkan rasa uneg. Tak lebih dari itu.

Hal kontraversi atau konflik tersebut tidak hanya terjadi pada pengawas(dari sekolah B) terhadap guru(dari sekolah A), tapi juga pada pengawas terhadap peserta Unas sendiri. Penulis yang hanya 50 persen product pesantren, tidak begitu paham akan ‘cemooh dan ejekan’ pengawas(dari sekolah B) terhadap peserta Unas yang berlatar santri(lebih jelasnya; dari sekolah A) seperti penulis sendiri. Jalinan kontra yang mungkin terjadi sejak dulu, baru penulis ketahui. Bahwa tidak sedikit pengawas(dari sekolah B) menganggap santri adalah pelajar yang bodoh. “Santri ini otak Rokok, mustahil bisa mengerjakan soal yang sesulit ini. Beda dengan anak asuh saya....” itu salah satu contoh ucapan pengawas Unas(dari sekolah B) yang waktu itu mempuanyai tugas menjaga ruangan penulis sendiri. Entah dari sekolah mana asal pengawas tersebut, atau entah dari background negeri atau swasta, tidak penulis ketahui. Yang pasti, penulis sangat yakin dengan ‘ejekan’ itu, yang penulis dengarkan sendiri dengan otak kepala, pun telinga penulis.

Sedikit kabar dari penulis, bahwa dunia pesantren dengan ragam variasinya merupakan pusat persemaian, pengalaman sekaligus penyebaran nilai-nilai keislaman. Didalam pesantren, santri bisa mentransfer berbagai macam ilmu yang digemarinya, sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia ternyata memiliki nilai strategis dalam membina insan berkualitas dalam segi keilmuan, agama. Tidak hanya itu, sekarang kita kenal(lagi) Pesantren Modern juga istilahnya kita kenal dengan Santri Digital. Santri tidak hanya bisa bersaing dalam hal salaf atau hal yang berbau agama dan islam. Tapi ingat, santri bisa bersaing dalam hal apapun.

Sungguh ironis. Tidak hanya itu, masih banyak(sekali) kabar-kabar serupa yang penulis dengar dari rekan-rekan peserta Unas santri yang lain. Bahkan ada yang lebih parah dari ucapan tersebut. Tapi biarlah, meskipun hal itu terjadi tahun ini, semoga untuk tahun-tahun yang akan datang bisa lebih baik lagi dan jalinan kontraversi itu bisa hilang yang nantinya akan membawa pendidikan terhadap wajah yang cemerlang. Wallahu A’lam (af).


Photo1 : http://www.datdut.com/wp-content/uploads/2016/08/santri.jpg

Comments

  1. Jarang sekali mereka yang muda membahas hal-hal semacam ini. Kebanyakan mereka menganggap dunia santri dunia yang ga keren sama sekali. Salut buat Affandi, salam persahabatan.

    ReplyDelete

Post a Comment

:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o

Popular posts from this blog

Narasi Nur Ariyanti Ep 3 : Jangan Dibuang

An Inconvenient Truth: 2030 Indonesia Tenggelam

Narasi Nur Ariyanti Ep 1 : Menghidupkan Cahaya