Serial Ke-2 "Senja Dikolong Langit"


Dari baris ke baris, terus ku rajut deskripsi jalan hidupku. Sebuah oret-oretan deskripsi yang sepertinya hanya tak lebih dari sekedar untaian imajinasi, tak lebih dari sekedar umpatan-umpatan orang yang tidak waras. Hanya saja aku masih bisa melihat terangnya sinar mentari di pagi ini, sehingga aku tak ubahnya seseorang yang memang pantas untuk dikatakan hidup.
Hidup sendiri tak ubahnya sebuah misteri bagiku, kesana kemari yang ada hanyalah biner oposisi. Kalau tidak hitam, ya… putih. Kalau tidak iya, ya… tidak, kalau tidak kerja sehari saja, berarti hari itu juga aku akan menemukan puncak jalan hidupku. Mungkin, Tuhan telah memberikan sebuah keistimewaan pada diriku yang rapuh. Dia mungkin telah memberikan kebebasan hidup untukku. Kalau seandainya aku sudah bosan hidup, mungkin aku bisa saja mati tanpa kehendaknya. Biologisnya sih memang seperti itu, kalau tidak kerja sehari saja, mungkin aku bisa dengan sendirinya mati kelaparan.
Yah, apalah arti hidup bagiku, kalau tanpa kehadiran Ayah dan Bunda disisiku. Gatal sepertinya jika sehari saja tanpa ada marah dari Ayahku yang jahat itu. Apalagi Bunda, yang selalu mengelus-elus ubun-ubun kepalaku jika lelap sudah menghampiri jasadku. Andai saja mereka ada lagi untukku. Yah, apalah arti sebuah harapan hidup bagi orang yang sudah mati.
Begitulah rintihan jalah hidupku. Setahun pasca kematian Ayah dan Bunda, aku memang sudah biasa menghabiskan sisa-sisa hidupku hanya untuk melamunkan hal-hal yang sepertinya jauh dariku. Aku selalu… saja menjulang asa agar Ayah dan Bunda kembali lagi hidup bersamaku. Sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali teman-teman di sekelilingku yang nasibnya sama sepertiku. Mereka semua yatim piatu, tidak punya rumah, orang tua atau family sekalipun. Begitupun dengan diriku. Rumahku sudah aku jual sembilah bulan yang lalu, dan itu semua aku lakukan, karena aku hanya ingin lebih lama saja menyapa hidup. Pun juga dengan sepeda butut warisan Kakek moyangku, juga terpaksa harus ku jual. Meski sudah lama terhuni oleh segerombolan rayap-rayap jahat, tapi lumayan buat sekedar isi perut. Sekarang aku sudah benar-benar sendiri. Sekolahku juga sudah putus setahun yang lalu, setelah kejadian besar yang menimpa Bunda dan membuatnya meninggalkanku. Sekarang tak ada lagi yang bisa menjadi harapan bagiku. Aku hanya selalu berharap masih akan ada orang yang mau membuang sisa-sisa sampahnya untuk aku pungut, selalu berharap masih akan ada orang yang sudi untuk menukarkan beberapa lembar uangnya untuk ditukar dengan sampah-sampahku.
Pagi itu ditengah-tengah khayalku, tiba-tiba saja sesosok suara terdengar membuyarkan lamunanku. Dia Madon temanku, yang provesinya sama sepertiku sebagai pemulung. Tapi bedanya dia lebih lama ditinggal oleh kedua orangtuanya, dari pada diriku yang baru setahun lalu. Dan seketika itu juga aku langsung sadar bahwa ada orang yang sedari tadi menungguku di depan gubuk renyotku yang mungkin hanya bisa menampung beberapa orang saja. Mungkin aku masih harus bersukur pada Tuhan, karena masih dikaruniai sebuah rumah. Rumah, tapi bukan surgaku. Mengapa demikian?, apa layaknya sebuah rumah yang dikelilingi sampah ini disebut surga?, tidak dikanan, dikiri, depan, belakang, semuanya penuh dengan gumpalan-gumpalan sampah, kenapa tidak?, toh disini memang tempatnya pemulung. Kalau saja bisa, ingin sekali aku pindah dari rumah yang beratap kardus dengan debu yang bertebaran di sekelingku tiap hari.
Ku raih tas kerjaku dan peralatanku yang lainnya. Segera aku langsung berlari ke arah Madon yang sedari tadi memanggil-manggilku, tidak hanya aku dan Madon, teman-teman yang lain juga sudah siap dengan tas keranjangnya. Aku dan teman-teman yang lain selalu berbeda arah ketika mencari sampah bekas. Alhamdulillah, aku dan teman-teman yang lain tidak pernah berebutan kalau masalah sampah. Sampah kok dijadikan bahan rebutan, tidak sewajarnya kan?.
Aku biasanya mencari sampah disebuah gang yang agak begitu jauh dari gubukku. Setelah semuanya siap, teman-teman yang lain juga, maka kita berangkat bersama mencari hidup. Ku langkahkan kakiku perlahan, sedikit sakit sih. Karena aku memang tak pernah memakai yang namanya sandal jepit. Makan aja kadang kurang, apalagi buat beli sandal jepit. Setelah aku sampai di tempat dimana biasanya aku mencari sampah, aku langsung segera memilah dan memilih sampah-sampah yang ada di hadapanku, mengais sisa-sisa plastik yang kulihat disana, membalik semua tong-tong sampah yang kutemui, tak peduli apa kata orang-orang tentangku, aku sepertinya hanyalah sesosok batu yang tak punya rasa malu, mungkin karena saking terbiasanya, sehingga rasa maluku tak pernah terbesit timbul seketika itu.

***
Tak terasa matahari hampir diatas kepala, tapi tas kerjaku belum juga penuh dengan sampah-sampah plastik. Kalau terus seperti ini, mungkin hari ini penghasilanku hanya separuh dari biasanya. Akhirnya kuputuskan untuk terus berjalan ke kompleks-kompleks perumahan terdekat dari sana, berharap di tong sampah orang-orang kompleks masih ada plastik dan botol air kemasan bekas, itupun jika belum dipungut oleh pemulung-pemulung lain. Panas begitu menyengat tubuhku, tapi aku tetap bersemangat mengais sisa-sisa sampah yang ada disana. Beruntung, masih tersisa beberapa botol air kemasan yang ada di salah satu tong sampah orang-orang kompleks. Alhamdulillah, rejeki emang tidak bakal kemana-kemana!. Dengan segera aku memasukkan botol-botol itu ke dalam keranjangku. Sekarang keranjangku sudah dipenuhi sampah bekas, aku siap menjualnya ke tengkulak.
Matahari sudah mulai sedikit condong kebarat, sepertinya mau tidak mau aku harus segera menjual hasilku hari ini, takut tempat tengkulaknya keburu tutup. Dengan langkah mantap aku berjalan keluar kompleks perumahan itu, aku ingin segera mendapat uang, maklum, sejak pagi tak ada sedikitpun makanan yang masuk kedalam perutku. Aku sangat lapar, lapar sekali, rasanya cacing dan bakteri sudah berunjuk rasa di dalam lambungku.
Bulsyit!, aku terkejut, rasa terkejutku serasa membeludak begitu saja setelah melihat dari kejauhan tampak tempat tengkulak langgananku ditutup. Mungkin karena aku terlalu ceroboh masih berjalan ke kompleks-kompleks perumahan itu. Sungguh apes nasibku hari ini, apa ini memang sudah takdir?. Biasanya sih kalau matahari sudah pas berada diatas kepala, aku langsung segera pulang, tapi hari ini aku masih nekat berjalan ke kompleks-kompleks itu, sehingga tempat tengkulaknya keburu tutup. Takdir memang selalu ironis untukku. Yah, tidak ada yang bisa diharapkan lagi kalau tempat itu sudah ditutup. Terpaksa aku pulang dengan membawa tangan kosong.
Aku berjalan pulang dari tempat tengkulak dengan membawa kembali barang-barang yang sudah ku kumpulkan. Dan yang pasti, berarti hari ini aku tak akan makan. Karena tempat ini adalah satu-satunya tempat biasa aku menyetor barang-barang yang sudah ku kumpulkan. Tengkulak tutup, tak ada uang. Langkahku lesu, ternyata hari ini sungguh sangat sial untukku. Aku tak menyangka kalau kerja kerasku seharian sia-sia belaka. Terpaksa aku harus menahan lapar hari ini. Kuatkan aku, Tuhan! Aku terus berjalan pulang menuju gubuk renyotku. Dengan langkah gontai aku terus berusaha berjalan. Sepertinya urat-uratku sudah tak lagi berfungsi. Aku bingung harus berbuat apa. Bingung harus mendapatkan makanan dari mana. Atau aku harus mencari makanan ditong sampah?. Tidak, mending tidak makan dari pada harus mencari makanan di tong sampah. Menjijikkan. Mungkin aku adalah satu-satunya pemulung yang masih kenal sama yang namanya jijik. Aku tidak tau kenapa! Kenapa rasa itu terus melekat dalam diriku. Meskipun sekarang sudah menjadi pemulung harian. Entalah…
Makin lama, langkahku makin gontai saja. Sepertinya aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa lapar yang terus-terusan menderaku. Ku terus berusaha berjalan menuju gubukku. Dan selang tak lama ku berjalan, terlihat disamping kananku sebuah warung makanan yang sepertinya kapasitasnya agak cukup besar. Ku lihat orang-orang disana bersama menikmati makanan mereka masing-masing. Terus kupandangi mereka dan sesekali ku telan ludahku untuk sedikit menghilangkan rasa laparku.
Langkahku semakin lesu, ku mencoba istirahat sebentar disebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu yang ada dipinggir jalan disekitar sana. Ku taruh tas kerjaku sejenak, lalu ku layangkan kedua tanganku disamping pantatku. Setelah itu ku tarik kedua tanganku sedikit condong kebelakang. Sehingga aku membentuk seseorang setengah tidur. Tapi tiba-tiba saja rasa ganjal terasa ditangan kiriku. Ku mencoba menoleh, ternyata disana terdapat sebuah tas kecil unik berwarna pink yang tidak sengaja tertekan dibawah telapak tangan kiriku. Dan rensleting tas kecil itu setengah terbuka. Lalu ku mencoba melirik kedalam isi tas itu. Ternyata yang kulihat disana terdapat beberapa lembar uang lima puluh ribuan. Segera ku tarik tangan kiriku dari atas tas itu. Ku mencoba lagi sedikit melihat pada isi tas itu. Yup, tidak salah lagi, disana terdapat beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
Entah setan apa yang telah merasukiku waktu itu, tiba-tiba saja pikiranku serasa tidak teratur, entah Iblis apa yang telah masuk kedalam jiwaku, sehingga aku ingin sekali membawa tas kecil berwarna pink itu. Lalu perlahan kuraba tas itu, sejenak melihat kekanan dan kekiri. Ku kira tak ada orang yang melihatku. Namun setelah aku sedikit berdiri ingin membawa tas pink itu tiba-tiba seseorang berteriak dari belakangku.
Copet…! aku terkejut lantas aku langsung berlari membawa tas kecil itu. Ku tinggalkan sampah-sampahku. Ku terus berlari sekuat kemampuanku, terus berlari, berlari dan berlari. Beberapa orang mengejarku dari belakang, mereka berbondong-bondong mengejarku dan sepertinya ingin menghajarku. Aku terus berlari. Namun apalah daya, rasa laparku makin terasa. Hingga akhirnya tak lama kemudian aku berlari, tiba-tiba saja tanpa rasa aku terjatuh lunglai didepan sebuah mobil. Untung saja mobil itu langsung berhenti, kalu tidak? Entahlah, apa yang akan terjadi padaku waktu itu. Dan tak lama dari itu juga, orang-orang yang tadi mengejarku mengangkatku dan berbondong-bondong memukulku, menginjakku dan meludahiku. Dasar copet!. Pungkas salah seorang dari mereka. Setelah mereka puas menyiksaku. Dan orang itu lantas mengambil tas kecil berwarna pink yang masih terselip ditangan kananku. Setelah itu orang-orang disana meninggalkanku tanpa sedikitpun memperdulikan keadaanku. Mungkin aku masih harus bersukur karena orang-orang itu tidak membawaku ke kantor Polisi. Andai saja iya, mungkin aku sekarang sudah berada di penjara. Ah, terima kasih tuhan!
Langkahku semakin lemah, aku tak kuat lagi menahan rasa lapar dan haus yang terus menderaku. Ditambah lagi seluruh badanku terasa sangat nyeri, setelah tadi ramai-ramai digebukin warga. Sama sekali tidak terbayang sebelumnya aku akan melakukan hal berbahaya yang seperti itu. Namun apalah daya. Nafsu memang tidak kemana. Sepertinya aku harus minta maaf pada Tuhan sebelum dia mengambil ajalku hari ini. Yah, mungkin lebih cepat lebih baik. Tapi, aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa lapar ini. Tak kuat lagi untuk berdiri, mengangkat tangan dan memohon ampun.
Alhamdulillah, ternyata tuhan masih mempertemukan aku dengan gubukku hari ini. Tidak sia-sia aku terpontang-panting berjalan, ternyata bisa sampai juga. Setelah sampai pas didepan gubukku, ku rebahkan pantatku sejenak diatas kardus yang ada disana. Sesekali pikiranku teringat tadi waktu digebukin warga. Sakit rasanya. Duh…
Akhirnya kesadaranku yang semakin menipis, dan rasa laparku yang sepertinya sudah tak terbendung, membuatku harus merebahkan badanku di tumpukan barang bekas yang ada di depan gubukku yang sudah renyot itu. Dalam kesadaranku yang makin menghilang, aku hanya bisa berharap kalau nanti akan ada orang yang menemukanku pingsan dan menolongku lantas memberiku sedikit makanan.

***
Ketika aku membuka mataku, terasa sangat silau. Ternyata aku masih ada di depan gubukku. Tak ada seorangpun yang menemukanku pingsan. Tapi, sepertinya tadi malam ada yang aneh, aku merasa ada seorang Malaikat yang datang menjemputku. Tapi kurasa itu hanya mimpi. Yah, itu hanya mimpi. Karena hari ini aku masih bisa melihat matahari bersinar terang. Dengan sedikit pening di kepala yang belum hilang, aku berusaha bangkit.
Aduh! Gumamku. Aku tak sengaja terbentur pada sebuah bendera berwarna kuning yang terpasang di tiang yang menyangga gubukku. Aku segera saja membuang bendera itu, dan berusaha perlahan masuk kedalam. Rasa terkejutku timbul begitu saja setelah melihat banyak teman-teman yang berkumpul di dalam gubukku. Mereka semua menangis dan berhujan airmata. Aku bingung dengan suasana ini, apa yang sedang terjadi? Mengapa mereka berkumpul didalam gubukku? Sangat aneh. Aku melihat Madon juga menangis diantara mereka, rasa ingin tauku sudah membeludak, segera aku hampiri Madon yang ada disana dan duduk disampingnya.
Dhon, ada apa ini? Kenapa semua teman-teman pada ngumpul dan nangis di rumahku?. Madon tak menjawab, dia terus menangis. Dia bahkan tak memperdulikanku. Suasana ini membuatku semakin bingung, aku terus bertanya hingga berteriak-teriak pada Madon, tapi semua yang ada disana seakan tak menyadari kehadiranku. Aku sangat kesal, aku hampir saja melempar sebuah gelas yang ada disampingku ke arah Madon yang sedari tadi membiarkanku bicara sendiri. Tapi saat aku menepuk bahunya, apa yang terjadi? Tanganku menembus bahu Madon. Sekali lagi aku mencoba, kejadian itu kembali terulang. Aku tak bisa menyentuh Madon, aku transparan. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri, jujur aku tak mampu membendung rasa terkejutku. Sampai akhirnya, aku melihat seseorang yang sedang tidur yang ada di tengah-tengah kerumunan mereka. Dia sudah ditutup sebuah selendang yang sudah usang. Aku semakin terkejut dan tak percaya ketika ku lihat orang yang sudah terbujur kaku itu adalah diriku sendiri.
Tidak mungkin! Aku tidak mungkin mati! Aku masih hidup! Aku hanya pingsan! Aku belum mati! Don, ini aku! Aku belum mati Don! Aku masih di sini! Masih hidup!. Aku berteriak sangat keras, tapi tak seorangpun disana yang mendengar akan teriakanku. Mereka terus menangis, tak menyadari kehadiranku. Airmataku menetes, aku tak percaya dengan apa yang ku lihat. Aku benar-benar sudah mati, mereka semua akan menguburkanku. Aku hanya bisa menangis dan terus memandangi jasadku yang ada di hadapanku. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Ini benar-benar terjadi. Aku sudah mati. Ternyata Tuhan mengambil nafasku sebelum aku berkata tobat padanya. Mungkin ini sudah takdirku, mati dalam keadaan lemah dikeroyok orang, karena ingin mencopet beberapa harta milik orang lain, yang sama sekali tidak ada artinya.
Tak lama dari itu, tiba-tiba Madon dan teman-teman yang lain mengangkat dan membawaku keluar. Aku terus mengikuti kegiatan mereka, entah kemana mereka akan membawaku. Terus ku ikuti dan sampai akhirnya mereka berhenti pas didepan rumah pak Lurah yang rumahnya tidak begitu jauh dari gubukku yang renyot itu. Tak hanya Madon dan teman-temanku, ternyata dirumah pak Lurah sudah banyak orang yang sudah siap akan memandikanku, mengkafani dan menguburkanku. Sedikit demi sedikit aku merasa rela dengan semua kenyataan ini.
Aku hanya bisa tersedu melihat jasadku dimandikan terus dikafani. Aku benar-benar tidak membayangkan sebelumnya, ternyata Tuhan menciptakan aku, Bunda dan juga Bapak tidak lama hidup di dunia. Tidak hanya itu, matinya pun semua terasa mengenaskan. Bapak mati karena dibunuh. Bunda mati karena menjadi korban robohnya gedung. Yang terakhir dan paling mengenaskan, aku sendiri yang mati karena kelaparan dan ramai-ramai digebukin orang. Sungguh begitu mengenaskan. Aku terus menyaksikan orang-orang yang ada disana hingga prosesi pemakaman yang terasa begitu tenang dan damai mengantarku pulang kepadaNya, melayang menuju keabadian, hingga hari akhir menjelang.Tamat.
Pagi ini semua orang mengantarku ke tempat tidur terakhirku. Yang akan terus kusinggahi hingga kiamat menjelang nanti. Ya, hari ini aku memang benar-benar sudah mati. Semua menangis, semua merintih, semua berduka, meratapi kepergian orang sepertiku. Harusnya hal ini tidak terjadi hari ini. Mereka tak harus mengantar ataupun meluapkan airmata mereka. Mereka tak perlu bersedih untukku. Selama hidup tak sekalipun aku menyapa mereka, tapi aku juga ingin menangis ketika menyaksikan mereka berhujan airmata mengantarku ke pemakaman. Seketika itu juga aku mengerti dan menyadari, jika selama ini banyak sekali orang yang mencintai dan selalu berdiri disekelilingku, mendampingiku mengarungi hidup yang datar dan tak memiliki alur jelas ini. Aku ingin berteriak pada Malaikat Izrail, tolong kembalikan lagi nyawaku! Aku masih ingin menikmati rasa cinta yang diberikan oleh orang-orang ini! Tapi sayang, itu sama sekali tak mungkin. Sangat tidak mungkin terjadi. Takdir memang ironis, sejak aku ditakdirkan menjadi pemulung hingga mati, aku tak pernah tau jika banyak cinta mengelilingiku. Andai terjadi, aku ingin bangkit dari kematian ini. Dan memeluk semua orang yang menangisiku pagi ini. Namun, segalanya telah berhenti dan takkan mungkin kembali terulang. Dan jika ini garis kehidupanku, aku mohon padaMu, semoga ini hanya mimpi Tuhan! Dan tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Dan tak lama kemudian, aku merasakan Sesuatu yang mengerikan, karena tiba-tiba saja penglihatanku terasa gelap.
Gelap! Gelap sekali! Apa ini? Apa mereka semua sudah menguburku? Apa sebentar lagi Malaikat-Malaikat yang lain akan datang bertamu? Apa ini? Kenapa segelap ini? Dalam kebingunganku, tiba-tiba seseorang menyebut namaku pelan dan menggoyang tubuhku. Mungkin dia adalah kedua Malaikat Mungkar dan Nakir yang akan bertamu dan menyiksaku pagi ini?. Entahlah, Ssshhhhh….


Madura, 02Juli 2009

Fandi Islami

Comments

  1. Bismillahirrahmanirrahim...
    ceritnya bgus bgeeeeeettttttttt...........
    sbenrnya aq hoby nulis jga, pi........ udah bca ne, aq jdi ciut.hehehehe...........
    mau dong blajar....... :D

    ReplyDelete
  2. ok makasih kunjugannya ya... silahkan balik lagi

    ReplyDelete

Post a Comment

:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o

Popular posts from this blog

Narasi Nur Ariyanti Ep 3 : Jangan Dibuang

An Inconvenient Truth: 2030 Indonesia Tenggelam

Narasi Nur Ariyanti Ep 1 : Menghidupkan Cahaya