Serial Ke-1 "Bunda"




Di malam yang sunyi itu, aku duduk-duduk termagu sendirian disamping jendela kamarku. Sambil lalu melihat indahnya langit yang tampaknya tersipu malu. Diwaktu yang sunyi seperti itu, sering kali lamunanku tergores tentang masa laluku. Perih sekali kurasakan. Masa lalu yang memang penuh dengan panasnya api dunia.
Dulu waktu bapakku masih hidup, sepertinya tiada waktu bagiku tanpa siksa. Ya…, dia jahat, serakah, kejam dan tidak puas-puasnya menyiksaku dan Bundaku. Aku benci sekali dengannya.

Bapak….
Sepi, sunyi dan sendiri
Dari waktu kewaktu kau jalani
Merasakan hembusan angin surga menghampiri
Atau…
Panas dan ganas yang terus terlintas
Pada dirimu yang terus memelas
Menyicipi api neraka memeras
Yang tanpa hentinya berteriak kesakitan tak terbatas
Bapakku yang jahat…
Disini, digubuk ini kau tinggal aku dan bundaku
Hiruk-pikuk yang ku jalani penuh dengan rasa pilu
Tak bisa merayu tuk menemanimu
Hanya do’aku yang bisa ku ucapkan diatas batu nisan itu

Oretan penaku terhenti sejenak mendengar suara petir bertubi-tubi mulai berkumandang. Isak gemuruhnya mulai terasa disetiap ranting-ranting ketakutan. Cahayanya yang tergores, rasanya ingin selalu saling menjauh, semakin menjauh dari ujung penjuru yang satu dengan lainnya. Pun rintik-rintik air kegalauan tidak mau kalah, suaranya mulai terdengar merasuki kesetiap sudut-sudut gendang indra pendengarku. Rasanya aku ingin saja berteriak sekeras mungkin, meratapi suara yang memang tak asing lagi ku dengar, yang setia menjadi musuhku disetiap malam terpapar dalam biji penglihatan.
Ku hilangkan kegelisahanku. Ku mencoba menghidupkan alat music radioku untuk sejenak menggugah aroma ketakutan yang sedang berselimut dalam hangatnya risau takutku. Rapuh kurasakan. Dinginnya angin malam masih setia berbondong-bondong menghampiri disetiap sela-sela lubang benang bajuku. “Ahhh, aku benci dengan semua ini!!”. Teriakku. Tapi tidak begitu keras, hanya untuk mencoba melawan hadirnya arah angin yang memang sedari tadi mencoba ingin memelukku. Radioku memang hebat, dia memang pintar menghilangkan ketakutanku, aku salut dengannya, karena hanya dia yang bisa menjadi teman disaat rasa takutku sedang menghampiri jasadnya.
Tapi, entah kenapa tiba-tiba saja radioku mengeluarkan suara yang memang begitu beda dari sebelumnya. Suaranya sangat kasar, jahat, rongsokan, nggak tau diri dan aku sangat tidak mau suara itu adalah adegan yang memang benar-benar terjadi.
“Tek, tek.” Jangtungku tiba-tiba saja bergetar menepuk dada. Nadiku tiba-tiba saja berlari mengejar lajunya urat yang sepertinya akan meletus meninggalkanku. Ku sangat tersentak mendengar suara siaran radio itu. Suaranya begitu menyengat merasuki sela-sela kupingku.
“Telah terjadi bencana di pusat kota. Sebuah gedung terbesar yang ada dipusat kota, roboh diterpa hadirnya badai dan derasnya air hujan, belum dipastikan berapa banyak korban pada kejadian itu”. Nadanya begitu seram kudengar, dan aku sangat tak kuasa mendengarnya. Kuharap semua itu hanyalah rongsokan bayangan semu yang mencoba menghantui pikiranku. Lalu ku mencoba menepuk keras kepalaku tapi tetap saja laju suara radio itu tetap bergerimis dalam pendengaranku.
“Namun telah dipastikan, bagi para pedagang kaki lima disekitar gedung tersebut, telah menjadi korban robohnya gedung.”
Ku mencoba menutup kedua kelopak mataku, tapi dia semakin mengeras, terus mengeras seakan-akan membentakku untuk segera bergegas berlari menuju dapur dan serentak mengambil sepeda buntut warisan kakek moyangku. Sepeda itu sudah rapuh dimakan rayap-rayap jahat, tapi masih bisa digunakan.
Aku tidak tau kenapa rasa ini datang begitu saja. Tiba-tiba saja aku ingin menangis, aku tidak tau kenapa aku ingin sekali menangis. Yah, aku ingin menangis. Ku mencoba menahan bendungan gelombang air mataku yang kian akan terbujur jatuh. Tapi saking beratnya ku tahan, air mata itu tanpa rasa bergulir jatuh membasahi pipiku.
Tapi, ku tak banyak basa-basi dan tak banyak kesana-kemari. Ku langsung seret saja sepeda sudah tak layak pakai itu dan ku kayuh keluar menghadapi desiran angin juga hamparan petir menuju pusat kota untuk menyelamatkan Bundaku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, semua itu akan terjadi pada Bundaku. Tapi itu belum pasti, mungkin saja Bundaku bisa menyelamatkan diri dari robohan gedung terbesar yang ada dipusat kota itu. Bundaku adalah seorang pedagang kaki lima yang memang biasa berjualan didepan gedung terbesar yang ada dipusat kota itu. Yang tadi dikabarkan roboh yang tidak sengaja kudengar dari alat musik radio kesayanganku. Ku sangat tak kuasa. Sangat tak menduga.
Ku tertatih-tatih mengayuh sepeda buntut itu, melawan pekatnya suasana malam diwaktu yang penuh dengan sampah kesedihanku. Tapi, pikiranku tak mengarah akan ganasnya suasana-suasana waktu itu. Ku masih menyimpan rekaman suara radio tadi didalam beribu-ribu rangkaian otak jiwaku. Dan semakin ku mengingat suara siaran itu, semakin deras pula air mataku yang bergulir jatuh meratapi nestapa- nestapa diri.
Setapak demi setapak ku kayuh sepeda buntut itu, larinya tidak begitu cepat. Tapi, ku ingin sekali mempercepat laju sepedaku, namun tak kuasa kulakukan. Sepertinya tak sidikitpun kekuatan melekat padaku.
“Tuham, tidak kah kau memberikan setampuk cahaya atau secercah cahayapun melekat dalam keselamatan Bundaku?.” Teriakku mengadu sambil lalu mengusap datangnya air mata yang memang sedari tadi tergucur luluh. Ku terus mengayuh sepeda buntut itu menuju pusat kota yang tidak begitu jauh jaraknya dari halaman gubukku, terus kukayuh tanpa lelah. Dan setelah sampai disana, ku tersu mengayuh sepeda buntut itu. kulihat serpihan-serpihan gedung berserakan. Kaca-kaca bertaburan. Mendengar berbagai lirik tangis keluarga korban disetiap tempat yang sedang kulewati kali ini. Ada yang berteriak Bapak, ada yang Kakak dan masih banyak lagi teriakan tangis yang ku dengar waktu itu.
Hatiku pedih, rasanya tertusuk-tusuk oleh duri-duri tajam yang teroleskan api disetiap sudut-sudutnya. Tangisku semakin jadi. Air mataku semakin deras berlomba-lomba untuk selalu menjauh dari biji mataku, mungkin laksana air yang mengalir di air terjun Niagara. Rasa-rasanya aku ingin saja muntah darah meratapi kesedihanku kali ini. Ku tak peduli mereka, rasa peduliku hilang sekejap. mengingat akan Bundaku yang kemungkinan juga menjadi korban robohnya gedung yang sekarang kulihat sudah berserakan bagian-bagiannya.

***

Waktu itu hujan masih setia mengalir deras. Petir juga. Tapi ku tak hiraukan suasana ganas itu. Rasa-rasanya tak ada secuilpun bunyi-bunyi petir itu ku dengar. Mungkin karena adanya rasa yang begitu perih yang bisa menangkis bunyi-bunyi petir itu untuk masuk menelusuri gendang telingaku. Ku rebahkan sepeda buntutku disebuah tiang listrik yang ada disana. Dan ku langsung saja menghampiri tempat dimana Bundaku biasanya berjualan disekitar gedung yang roboh itu, ku lihat disana-disini darah tercecer dimana-mana. Kaca yang asalnya bening menjadi merah begitu saja. Sudah banyak korban dimana-mana kulihat. Disekitar tempat Bundaku juga.
“Tapi, dimana Bundaku??” batinku bertanya. Yang kulihat setelah sampai disana hanyalah gerobak Bunda yang sudah roboh tertimpa gedung-gedung yang roboh. Aku panik, aku kehilangan kendali, tangisku semakin menjadi-jadi, mataku rasanya ingin mengeluarkan air mata darah, tapi tidak bisa. Ku mencoba terus mencari kebaradaan Bunda, membalik dengan sekuat tenaga tebing-tebing gedung yang sudah roboh disana, karena aku tau Bunda pasti ada dibalik serpihan tembok-tembok ini. Ku terus membalik serpihan tembok-tembok yang sudah tercecer dimana-mana itu, kuterus membalik dengan sekuat tenaga tanpa mengenal lelah. Banyak korban yang ku temukan dibalik tembok-tembok yang memang sedari tadi ku balik. Ada yang hilang batang hidungnya, ada yang bengkak mulutnya dan bahkan ada juga yang rata mukanya. Sekarang baju dan tanganku penuh dengan lapisan darah.
“Bunda…Bunda.” Ku terus berteriak. Dan saking kerasnya gemparan teriakanku, rasa-rasanya air ludahku mulai kering kerontang. Rasa-rasanya urat tenggorokanku hampir putus meratapi kerasnya teriakanku. Dan sampai akhirnya, seketika ku temukan korban dibalik sebuah serpihan tembok yang memang masih belum kuangkat tembok yang membebani diatas korban itu. Aku terdiam Sejenak, aku tercengang pada korban yang satu itu. Karena aku sepertinya mengenal sandal jepit yang ia pakai, aku sepertinya mengenal warna sandal jepit yang sedang ia kenakan itu. Tapi siapa?? Ku mencoba mengangkat tembok berat itu dengan perlahan, ku lihat wanita setengah baya disana. Badannya penuh dengan darah dan sepertinya dia sudah tiada lagi. Lalu ku coba membalik badan wanita itu, dan akhirnya.
Hatiku, perasaanku pun jiwaku memang dari tadi telah terpuruk oleh berbagai rasa yang sangat menegangkan. Tapi sekarang lebih parah. Ya, parah sekali. tiba-tiba saja aku jatuh terlunglai setelah melihat dia adalah Bundaku.
“Bunda…!!” Aku berteriak begitu keras mencoba melampiaskan goresan-goresan tangis yang saat itu sudah melebur kesetiap ranting-ranting nestapa. Tulang-tulangku sepertinya tak lagi berfungsi. Lemah kurasakan, tak ada sedikitpun kekuatan melekat dalam diriku. Tapi aku berusaha bergerak menghampiri badan Bundaku dan memeluknya seerat mungkin.
“Bunda….” Ku berteriak sekali lagi. bahkan lebis keras dari yang sebelumnya. Tapi sepertinya tak ada seorangpun disana yang mendengar akan teriakanku, tak ada satupun diantara mereka yang peduli akan kesedihanku.
Air mataku semakin deras tercucur, sangat deras, sangat deras sekali. Ku hanya bisa berharap ada seseorang disana yang mau membantuku dan Bundaku. Aku tak tau harus berbuat apa atau bagaimana. Aku hanya bisa memohon pada sang kuasa akan hidayah dan ridlonya untuk menerima Bunda dipangkuaanya. Aku tak pernah menyangka sebelumnya semua ini bisa terjadi pada satu-satunya orang yang kumiliki. Pada satu-satunya orang yang memang tak tertandingi akan kasih sayangnya padaku. Dulu Bapakku meninggal karena dibunuh, dan sekarang Bundaku menjadi korban robohnya gedung. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku tak tau harus kemana, bagaimana dan mau apa. Tapi jika ini memang dari sang Kuasa, aku ikhlas hidup sendiri dan merelakan keduanya pergi. Shhh….

Comments

Post a Comment

:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o

Popular posts from this blog

Narasi Nur Ariyanti Ep 3 : Jangan Dibuang

An Inconvenient Truth: 2030 Indonesia Tenggelam

Narasi Nur Ariyanti Ep 1 : Menghidupkan Cahaya