Serial Ke-3 "Orion"



Pagi ini semua orang akan mengantarku ke tempat tidur terakhirku. Yang akan terus kusinggahi hingga kiamat menjelang nanti. Ya, hari ini aku memang benar-benar sudah mati. Semua menangis, semua merintih, semua berduka, meratapi kepergian orang sepertiku. Harusnya hal ini tidak terjadi hari ini. Mereka tak harus mengantar ataupun meluapkan airmata mereka. Mereka tak perlu bersedih untukku. Selama hidup tak sekalipun aku menyapa mereka, tapi aku juga ingin menangis ketika menyaksikan mereka berhujan airmata saat mengantarku ke pemakaman. Seketika itu juga aku mengerti dan menyadari, jika selama ini banyak sekali orang yang mencintai dan selalu berdiri disekelilingku, mendampingiku mengarungi hidup yang datar dan tak memiliki alur jelas ini. Aku ingin berteriak pada Malaikat Izrail, tolong kembalikan lagi nyawaku! Aku masih ingin menikmati rasa cinta yang diberikan oleh orang-orang ini! Tapi sayang, itu sama sekali tak mungkin. Sangat tidak mungkin terjadi. Takdir memang ironis, sejak aku ditakdirkan menjadi pemulung hingga mati, aku tak pernah tau jika banyak cinta mengelilingiku. Andai terjadi, aku ingin bangkit dari kematian ini. Dan memeluk semua orang yang menangisiku pagi ini. Namun, segalanya telah berhenti dan takkan mungkin kembali terulang. Dan jika ini garis kehidupanku, aku mohon padaMu, semoga ini hanya mimpi Tuhan! Dan tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
Gelap! Gelap sekali! Apa ini? Apa mereka semua sudah menguburku? Apa sebentar lagi Malaikat-Malaikat yang lain akan datang bertamu? Apa ini? Kenapa segelap ini? Dalam kebingunganku, tiba-tiba seseorang menyebut namaku pelan dan menggoyang tubuhku.
“Hei, hei, Bangun. Dah siang tuh!” Seketika itu juga aku terbangun dari tigur lelapku. “Terimakasih Tuhan, ternyata ini hanyalah mimpi,” ujarku dalam hati lantas kubernafas lega karena hari ini aku masih bisa melihat Madon yang memang selalu setia untuk membangunkanku.
“Cepetan mandi, sholat, terus kita berangkat kerja, nih aku ada makanan sedikit. Cepetan dimakan!” Madon begitu bersemangat pagi ini. Dengan begitu, segera aku pergi ke kali yang ada dibelakang gubukku. Sebenarnya kali itu sangat kotor dan tak layak lagi digunakan. Orang sepertiku yang terbiasa dengan sampah saja bisa mengatakan tempat itu sangat menjijikkan, apalagi orang-orang kaya di luar sana yang terbiasa bergelimang harta.
Setelah semuanya selesai, langsung ku raih tas kerjaku dan peralatanku yang lainnya. Segera aku berlari ke arah Madon dan teman-temanku yang lain yang sepertinya sudah berkumpul untuk bekerja, kelihatannya pagi ini aku datang paling akhir. Karena kulihati sepertinya keranjang-keranjang mereka sudah hampir penuh dengan plastik.
Kuberjalan begitu santai, melewati tempat-tempat dimana biasanya ku langkahkan kakiku untuk mencari hidupku. Terus ku berjalan tanpa lelah. Terus berjalan. Ketika sampai disebuah trotoar jalan terlihat dari jauh olehku seorang kakek-kakek yang sepertinya kesulitan ingin menyebrang jalan. Tampak olehku kakek-kakek setengah keriput itu menoleh kekanan dan kekiri yang sepertinya kebingungan untuk mencari tempat tujuan. Ku mencoba untuk menghampiri kakek tua itu. Dan kutanya kemana tujuan kakek tua yang sepertinya kehilangan arah itu. Tak ada jawaban darinya. Kakek itu menatapku sinis, sepertinya dia menemukan sesuatu yang lebih dari pandangan mataku. Kutanya lagi, tak ada jawaban. Sekali lagi, tetap, dia tetap diam dan membisu. Hingga pada akhirnya kakek tua itu sedikit mengangkat hening dikepalanya. Dan sepertinya ku tahu akan kemana kakek itu meneruskan langkahnya.
“Kakek mau ke laut itu?.” Tanyaku penasaran lantas ku alingkan telunjuk jariku ke arah selatan yang memang tak jauh jaraknya dengan laut disekitar sana, paling 1 Km. Kakek tua itu menggerakkan kepalanya keatas dan kebawah, meng-iyakan tapi bisu, masih tanpa bahasa.
“Kakek ngapain kesana? Mau melaut cari ikan kek?.” Ucapku lagi.
Kakek itu masih membungkam, sepertinya dia kakek tua yang bisu, atau kena sariawan, atau paling-paling dia malas menjawab pertanyaan dariku yang bertampang pemulung waktu itu. Entahlah.
Sedikit demi sedikit, kakek tua itu mulai melangkahkan lagi laju kakinya, sepertinya dia tidak jadi menyebrang jalan. terlihat olehku beberapa lobang-lobang kecil tertampak disekitar telapak kakinya. Tak heran kalau kakek itu kita sebut seorang nelayan. Mukanya hitam, baunya bak ikan asin yang masih mentah. Ada semacam tas plastik diikat dengan tali melilit disekeliling tubuhnya.
Tapi sepertinya aku tertarik dengan tampang sinis kakek tua itu. Sepertinya ada siratan yang beda darinya. Dengan sedikit penasaran, akhirnya ku mencoba mengikuti langkahnya pelan, sangat pelan.
“Kek, kakek benar mau melaut hari ini? Boleh tidak aku ikut melaut cari ikan bersama kakek?” Ucapku sambil membuntuti geraknya dari belakang.
Dia tetap diam tanpa kata, dan terus melangkahkan laju kakinya. Ku tak mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Tapi tak lama setelah itu tiba-tiba kakek tua itu menghilangkan laju langkahnya, dia sedikit membalikkan arah kepalanya kebelakang, dan masih dengan tatapan sinis.
“Ikutlah dengan ku Nak!.” Jawabnya dengan nada pelan.
Tas kerjaku yang memang masih belum terisi itu, ku biarkan tetap tergendong dipunggung retakku. Ku melompat kegirangan, hari ini aku akan melaut. Dan siapa tau hasilnya lebih dari pada hanya mengumpulkan sampah-sampah bekas? menjijikan.
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti kakek tua itu melaut, tanpa memikirkan sesuatu yang berbahaya akan terjadi padaku. Ini kesempatanku untuk mengubah hidup, siapa tau dengan melaut mimpi dan anganku selama ini bisa terbang dalam dunia nyata.

***
Nafasku sepertinya sudah terkuras habis, berjalan membuntuti kakek itu sejauh 1 Km yang tak tau akan membawaku kemana. Tapi yang pasti, hari ini aku akan melaut. Terbang ke dunia samudera untuk berburu ikan.
Berjalan jauh tak sia-sia juga. Setelah sampai disana, kulihat nampak perahu tercecer bershof rapi, kakek tua setengah keriput itu nampak masih kebingungan dan entah apa yang dia cari. Sekali lagi terus ku ikuti langkahnya, terus ku ikuti. Sampai pada akhirnya dia berhenti di belakang salah satu perahu diantara beberapa perahu yang ada disana. Dan sepertinya perahu itu adalah miliknya. Nampak dari beberapa bagian dari perahu kakek itu tersusun sangat rapi, layarnya tergulung indah, dengan lampu badai masih menggantung dan tergoyang diterpa angin. Berhenti sejenak, kakek tua itu memandang sinis kedepan melototi perahunya, mulutnya berkomat-kamit dan entah apa yang ia ucapkan, sedikit demi sedikit ku dengar suaranya yang nampak membaca sebuah mantra arab, dan tak lama dari itu dengan mengangkat kaki kanannya terlebih dahulu, kakek tua itu menaiki perahunya.
“Naiklah Nak, kau akan menjadi nahkoda pada hari dan malam ini, kita akan melaut dan pulang membawa beribu-ribu ikan besok pagi. Ayo, naiklah.” Ucapnya lagi, mencoba meyakinkanku.
Tidak biasanya, hari ini aku sama sekali tidak merasakan lapar. Matahari sudah condong kesebelah barat. Biasanya sekarang aku sudah mendapatkan makanan, tapi entah apa yang membuat ku lupa akan semua itu.
Angin bertiup kencang disepanjang laut, aku memang belum terbiasa dalam keadaan yang seperti ini. Badanku gemetar menggigil, bibirku memucat. Perahu tetap meniti diatas air laut itu dengan sedikit bergoyang, yang memang ombaknya tidak begitu besar.
“Kek, kita akan kemana?” Tanyaku linglung.
“Kita akan berburu Jelangkung malam ini.” Jawabnya masih dengan tatapan sinis.
“Memangnya, ada ikan yang namanya ikan Jelangkung ya kek?” Tanyaku lagi.
Kakek tua itu tetap sinis, tidak menjawab pertanyaanku yang kedua kalinya.

***
Malam tiba, bulan tak tampak. Hanya saja lampu badai diperahu yang sedang ku tumpangi malam itu sedikitnya bisa menyinari disekitar perahu yang sedang kutumpangi. Aku semakin menggigil, sepertinya rasa lapar sudah mulai kurasa. Ku pandangi kakek tua itu sejenak. Dan tidak biasanya tatapannya sinisnya kini berubah menjadi senyum indah.
“Ambillah nak.” Tiba-tiba kakek tua itu menyodorkan satu ketela rebus yang dia keluarkan dari kantong plastiknya yang memang sedari tadi tidak dia lepaskan dari ikatan yang menyangga perutnya. Sepertinya kakek itu mulai mengerti dengan keadaanku waktu itu. Langsung saja ku raih ketela rebus itu dan ku santap tak tersisa.
Malam semakin larut, gelap dan dingin semakin menjadi. Tak biasa, laju perahu itu kini semakin ugal-ugalan, sepertinya ada ketidak seimbangan diantara dua sisi. Goyangannya lama-lama semakin terasa, terus bergoyang. Tapi tunggu, ku lihat tak jauh didepan perahu yang ku tumpangi waktu itu, nampak ada gumpalan air yang berputar sangat dahsyat. Air itu berputar sangat dahsyat, sangat dahsyat. Dan tidak dapat dihindari kini aku dan kakek itu terjebak dalam pusaran air yang dahsyat.
“Pegangan…!” Teriak kakek itu, seraya meraih tiang yang menjadi sanggahan layar perahu yang sempat dia jadikan tempat sandaran.
Aku bingung, “Apa yang harus ku pegang. Tidak, sebentar lagi aku akan terhempas dari perahu ini.” Hatiku ketakutan. Tapi, tiba-tiba kakek tua itu meraih tanganku dan memegannya dengan erat. Sangat erat.
Baru sekarang ku merasakan badanku terputar-putar dengan begitu dahsyatnya. Perahu itu berputar dahsyat, begitu juga dengan aku dan kakek tua itu. Aku melihat buih berlimpah-limpah. Perahu bergoyang halus, tapi cepat serupa denting senar gitar bergetar. Paku-paku yang mengikat papan perahu itu berdetak secara bergantian bak gemeletuk gigi, seolah-olah akan hancur dan meledak. Tapi akhirnya, selamat!. perahu itu meluncur pelan keluar dari pusaran air dahsyat itu dan was-was dalam incaran maut, laksana terbelah diatas neraka-neraka yang sedang berkobar.
Terlepas dari pusaran air itu kakek tua itu nampak tersenyum melihatku. tidak cuek, juga ku balas senyumnya perlahan.
“Memangnya kita mau kemana Kek?” tanyaku.
“Kok ikan Jelangkungnya gak dateng-dateng Kek?.” Kali ini aku bingung dengan kakek tua itu.
“Nak, coba kau pegang pengendali itu, kendalikan perahu ini kemanapun arah yang akan membawamu nanti.?” Cetusnya.
“Kalau nanti salah arah, dari sini aku akan memandumu. Kita akan ketempat dimana incaran kita berada, cepat.” Kakek itu lagi.
Akhirnya, dengan rasa peduliku yang semakin menghilang, kupegang tali gas yang waktu itu masih menyanggah pada salah satu tiang yang tertancap diperahu itu. Begitu juga dengan pengendali arahnya juga ku pegang. Tanpa basa-basi ku kendalikan perahu itu kemanapun ku mau, geraknya santai tapi sedikit berbelok-belok. Nampak kulihat kakek tua itu mengarahkan pandangannya kelangit, memandangi beribu-ribu bintang yang ku tak tau apa yang dia cari.
“Terus ke selatan Nak, jangan belokkan perahunya ke arah timur.” Cetus kakek tua itu.
“Kek, disini kan gak ada apa-apa, gak ada pulau, matahari atau kompas sekalipun. Kok kakek bisa tau arah?.” Tanyaku.
“Taukah kau bintang-bintang itu nak? Itulah rasi bintang Orion Nak, sang langit Timur. Langit dan bintang tak ubahnya sebuah Kompas bagi nelayan, Rasi Pari sang langit selatan, Rasi Biduk sang langit utara, Rasi Kalajengking sang langit tenggara dan Rasi Orion sang bintang yang terpetak di langit sebelah barat dan timur.” Jelas kakek itu yang masih membuatku bingung.
Sepertinya kakek tua itu melihatku linglung, dia sepertinya mengerti dengan kebingunganku akan bintang-bintang itu. Kemudian kakek tua itu mengambil sebatang kayu bakar yang masih kering dan masih bisa menimbulkan sedikitnya tulisan dari ujung kayu bakar tersebut, lantas melukis dilantai perahu itu beberapa bentuk garis-garis dan entah apa maksudnya.
“Inilah nak, yang dimaksud dengan Rasi bintang Scorpio atau lebih gampangnya kita sebut dengan bintang Kalajengking, yang biasanya berada dilangit disebelah utara.” Pungkasnya padaku, sambil menunjukkan sebatang kayu bakar tadi pada sebuah garis-garis buatannya yang berbentuk kalajengking.
“Dan ini Rasi bintang Pari, biasnya muncul dipermukaan langit sebelah selatan.” Lantas menunjuk pada garis-garis disebelah rasi kalajengking.
“Dan inilah Orion.”
Sambil menunjuk pada garis-garis disebelahnya lagi.
Sedikitnya ku mulai memahami pada penjelasan kakek tua itu. Ternyata dia sungguh genius, tak kusangka sebelumnya. Dia menggunakan langit sebagai kitabnya untuk menunjuk arah. Tak heran kalau kakek tua setengah keriput itu kita sebut sebagai orang yang setidaknya ahli dalam bidang Astronomi.
“Berhenti.” Ucap kakek tua itu tiba-tiba. Lantas ku lepaskan tali gas yang sedari tadi melilit pada telunjuk jariku.
Kakek itu nampak mencari sesuatu didalam kantong plastik yang sedari tadi memang masih melingkar diperut buncitnya. Entah apa yang ia cari.
“Kenapa kek? Apa ikan jelangkungnya sudah mulai muncul?.” Tanyaku lagi.
Ku merasakan sekali lagi ada yang tidak beres dengan perahu yang waktu itu ku tumpangi, nampak perahu itu bergoyang dan lama-lama goyangannya semakin membesar.
“Kek, itu kek ikan Jelangkungnya.”
Kulihat disana tepat didepan pandanganku sebuah ikan dengan ukuran sangat besar. Dan sepertinya ikan itu sebentar lagi akan menabrak perahu yang akan kutumpangi.
“Cepat, tarik lagi gasnya.” Kakek itu tiba-tiba berteriak seraya menghampiriku.
Ku tarik kembali tali gas itu, bahkan dengan tarikan penuh. Perahu yang ku tumpangi meningkam punggung ikan besar itu. Ikan itu nampak mengelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. Tali gas dalam genggamanku tersentak, aku terlempar ke udara, melayang tinggi lantas jatuh kepermukaan laut. Perahu itu mengguling dan entah dimana kakek tua itu berada.
Pandanganku gelap, aku tidak bisa bernafas. Sungguh oksigen dalam tubuhku sudah mulai pupus. Entah apa yang akan terjadi padaku. Ku mencoba berenang naik kepermukaan. Tapi apalah daya, ombak kembali membawaku kedasar laut. Badanku terasa mengapung tapi berputar, sehingga banyak sekali air yang masuk menelusuri disetiap lobang-lobang yang ada diorgan tubuhku. Ku hanya bisa berharap ada mukjizat besar menghampiriku waktu itu. Tuhan, adakah ini hanya mimpi? Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini Tuhan. Shh.......

05 Desember 09

Comments

Popular posts from this blog

Narasi Nur Ariyanti Ep 3 : Jangan Dibuang

An Inconvenient Truth: 2030 Indonesia Tenggelam

Narasi Nur Ariyanti Ep 1 : Menghidupkan Cahaya